Mengapa Hukum Tak Kunjung Tegak
Suteki - Kebanyakan orang, memahami Hukum lebih dimaknai dalam satu wajah (facet) berupa black letter law atau lawyer’s law yang terpisah masyarakatnya dan hukum hanya untuk mengabdi pada kepentingan hukum bukan mengabdi pada kepentingan manusianya.
Cara berhukum yang mendewakan rule and logic berimplikasi pada cara, tujuan dan akuntabilitas penegakannya yang menampilkan hukum sebagai mesin otomat kering dengan nilai-nilai socio-legalnya. Akuntabilitasnya hanya berbasis pada logika dan sistem prosedural, tidak berbasis pada kepercayaan (trust). Cara berhukum yang demikian dapat diprediksikan hanya akan melahirkan ketidakadilan atau seandainya keadilan itu tercapai hanya bersifat semu (pseudo-justice) karena keadilan tersebut tidak berbasis pada karakter masyarakatnya, masksud saya adalah masyarakat Indonesia yang pluralistik.
Persoalan pluralitas masyarakat Indonesia harus menjadi pertimbangan khusus dalam penegakan hukum. Dibutuhkan cara-cara tersendiri dalam memecahkan problem-problem hukum yang dihadapi oleh masyarakat yang satu dengan lainnya. Tidak bisa dibuat cara yang sama meskipun hukum---peraturan—yang digunakan sama. Di sinilah mulai tampak bahwa wajah hukum bukan hanya tampil sebagai rules and logis tetapi juga behavior yang sarat dengan ide-ide, nilai-nilai, simbol-simbol serta kearifan-kearifan lokal. Maka, wajah hukum telah menunjukkan pluralitasnya, yakni berwajah multi atau multifacet.
Legal pluralism merupakan strategi pendekatan baru yang harus dikuasai oleh penegak hukum agar dapat melakukan terobosan hukum melalui the non enforcement of law. Hal ini disebabkan pendekatan ini tidak lagi terpenjara oleh ketentuan legal formalism melainkan telah melompat ke arah pertimbangan living law dan natural law. Cara berhukum di Indonesia tidak tepat apabila digunakan pendekatan posivistik seperti negara asal hukum Indonesia (khususnya Eropa) tanpa melihat aspek moral/religion atau pun ethic serta pertimbangan aspek socio-legal-nya.
Watak liberal individualistik hukum modern di Indonesia mesti dibongkar untuk disesuaikan dengan basis sosialnya, yakni masyarakat Indonesia dengan karakter Oriental-nya. Watak liberal dan individualitas hukum modern mesti diimbangi dengan watak arif bijaksana serta watak welas asih, kesatuan dan rasa keadilan dalam masyarakat yang tercermin dalam the living law-nya sehingga hukum mampu menghadirkan keadilan paripurna yang menjadi tujuan penegakan hukum progresif...
Untuk menutup perbincangan perspektif ketimuran dalam pencarian keadilan paripurna ini saya mengaja pembaca untuk bercermin terhadap kasus yang menimpa Manisih dan ketiga saudaranya yang dituduh mencuri kapok randu seharga Rp 12.000,- di Batang yang ditahan sejak mulai penyidikan hingga putusan di jatuhkan. Berapa banyak kerugian lahiriah, materiil karena tidak bisa bekerja sebagai petani serta nestapa batiniah yang tidak terperi. Saya dalam hal ini bukan membela “pencuri’ tetapi berempati terhadap penderitaan yang melebihi kesalahannya mencuri kapok randu seharga Rp 12.000,- tersebut. Kasus serupa banyak terjadi dalam masyarakat yang sejak dulu dikenal kaya dengan kearifan dan rasa welas asih. Apakah ini keadilan yang sesungguhnya dicari dalam kita berhukum selama ini? Tidak adakah ruang lain selain jalur hukum formal untuk mencari keadilan? Keadilan substantif atau keadilan paripurna yang seharusnya dihadirkan oleh hukum ternyata begitu terasing (secluded) bagi Manisih dan keluarganya. Di sinilah penegak hukum telah terpasung legalitas formal sekaligus memarginalkan hati nurani.
Penegak hukum telah mengutamakan kepastian hukum (peraturan hukum) belaka sehingga meminggirkan nilai keadilan substantif yang berarti bahwa perilaku penegak hukum tersebut tidak sesuai konsep Gustav Radbruch khususnya tentang pengutamaan nilai keadilan di atas statutory law. Ke depan harus terus dipikirkan agar apabila terjadi benturan antara kepastian hukum dengan nilai keadilan, maka nilai keadilanlah yang harus diutamakan. Dengan demikian arogansi watak hukum modern yang liberal dan individualistik secara pelan tetapi pasti dapat direduksi dengan nilai keadilan dan keseimbangan sebagai cermin watak bangsa Oriental.
Semoga masyarakat semua bisa teredukasi dari catatan ini.
Cara berhukum yang mendewakan rule and logic berimplikasi pada cara, tujuan dan akuntabilitas penegakannya yang menampilkan hukum sebagai mesin otomat kering dengan nilai-nilai socio-legalnya. Akuntabilitasnya hanya berbasis pada logika dan sistem prosedural, tidak berbasis pada kepercayaan (trust). Cara berhukum yang demikian dapat diprediksikan hanya akan melahirkan ketidakadilan atau seandainya keadilan itu tercapai hanya bersifat semu (pseudo-justice) karena keadilan tersebut tidak berbasis pada karakter masyarakatnya, masksud saya adalah masyarakat Indonesia yang pluralistik.
Persoalan pluralitas masyarakat Indonesia harus menjadi pertimbangan khusus dalam penegakan hukum. Dibutuhkan cara-cara tersendiri dalam memecahkan problem-problem hukum yang dihadapi oleh masyarakat yang satu dengan lainnya. Tidak bisa dibuat cara yang sama meskipun hukum---peraturan—yang digunakan sama. Di sinilah mulai tampak bahwa wajah hukum bukan hanya tampil sebagai rules and logis tetapi juga behavior yang sarat dengan ide-ide, nilai-nilai, simbol-simbol serta kearifan-kearifan lokal. Maka, wajah hukum telah menunjukkan pluralitasnya, yakni berwajah multi atau multifacet.
Legal pluralism merupakan strategi pendekatan baru yang harus dikuasai oleh penegak hukum agar dapat melakukan terobosan hukum melalui the non enforcement of law. Hal ini disebabkan pendekatan ini tidak lagi terpenjara oleh ketentuan legal formalism melainkan telah melompat ke arah pertimbangan living law dan natural law. Cara berhukum di Indonesia tidak tepat apabila digunakan pendekatan posivistik seperti negara asal hukum Indonesia (khususnya Eropa) tanpa melihat aspek moral/religion atau pun ethic serta pertimbangan aspek socio-legal-nya.
Watak liberal individualistik hukum modern di Indonesia mesti dibongkar untuk disesuaikan dengan basis sosialnya, yakni masyarakat Indonesia dengan karakter Oriental-nya. Watak liberal dan individualitas hukum modern mesti diimbangi dengan watak arif bijaksana serta watak welas asih, kesatuan dan rasa keadilan dalam masyarakat yang tercermin dalam the living law-nya sehingga hukum mampu menghadirkan keadilan paripurna yang menjadi tujuan penegakan hukum progresif...
Untuk menutup perbincangan perspektif ketimuran dalam pencarian keadilan paripurna ini saya mengaja pembaca untuk bercermin terhadap kasus yang menimpa Manisih dan ketiga saudaranya yang dituduh mencuri kapok randu seharga Rp 12.000,- di Batang yang ditahan sejak mulai penyidikan hingga putusan di jatuhkan. Berapa banyak kerugian lahiriah, materiil karena tidak bisa bekerja sebagai petani serta nestapa batiniah yang tidak terperi. Saya dalam hal ini bukan membela “pencuri’ tetapi berempati terhadap penderitaan yang melebihi kesalahannya mencuri kapok randu seharga Rp 12.000,- tersebut. Kasus serupa banyak terjadi dalam masyarakat yang sejak dulu dikenal kaya dengan kearifan dan rasa welas asih. Apakah ini keadilan yang sesungguhnya dicari dalam kita berhukum selama ini? Tidak adakah ruang lain selain jalur hukum formal untuk mencari keadilan? Keadilan substantif atau keadilan paripurna yang seharusnya dihadirkan oleh hukum ternyata begitu terasing (secluded) bagi Manisih dan keluarganya. Di sinilah penegak hukum telah terpasung legalitas formal sekaligus memarginalkan hati nurani.
Penegak hukum telah mengutamakan kepastian hukum (peraturan hukum) belaka sehingga meminggirkan nilai keadilan substantif yang berarti bahwa perilaku penegak hukum tersebut tidak sesuai konsep Gustav Radbruch khususnya tentang pengutamaan nilai keadilan di atas statutory law. Ke depan harus terus dipikirkan agar apabila terjadi benturan antara kepastian hukum dengan nilai keadilan, maka nilai keadilanlah yang harus diutamakan. Dengan demikian arogansi watak hukum modern yang liberal dan individualistik secara pelan tetapi pasti dapat direduksi dengan nilai keadilan dan keseimbangan sebagai cermin watak bangsa Oriental.
Semoga masyarakat semua bisa teredukasi dari catatan ini.
Oleh: Suteki
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan baik dan ilmiah......