Bisakah Menjadi Polisi "Nabi"?

Suteki - Tigaratus tahun sebelum Masehi, Ulpianus telah menancapkan tiga prinsip utama hukum alam, yakni honeste vivere (hiduplah dengan jujur), alterum non laedere (terhadap orang lain di sekitarmu janganlah merugikan), dan suum cuique tribuere (kepada orang lain berikanlah apa yang menjadi haknya). Tiga prinsip dasar tersebut sebenarnya merupakan dasar sekalian moralitas manusia sehingga apabila ketiganya diposisikan sebagai perintah, maka perintah itu bersifat perintah yang tidak bisa ditawar-tawar oleh manusia (imperative chategories). Perintah itulah yang dapat memanusiakan manusia dan menjadikan penegak hukum yang humanis. Jujur, tidak merugikan orang lain dan adil adalah sifat-sifat penegak hukum yang humanis tersebut.

Ketika hidup ini belum sedemikian complex dan complicated, ketiga sifat itu mungkin tidak selangka dalam kehidupan sekarang yang serba instan dan interaksi antar manusia bersumbu pendek, dan suka menerabas seperti istilah yang pernah dipopulerkan antropolog Koentjaraningrat (1980). Ada beberapa mentalitas buruk, menurut Koentjaraningrat, yang terus dipelihara sebagian besar bangsa ini dan diwariskan turun-temurun kepada generasi selanjutnya. Beberapa mentalitas buruk itu antara lain suka menerabas, meremehkan mutu atau kualitas, tidak percaya diri, berdisiplin semu, dan suka mengabaikan tanggung jawab. Menerabas itu melakukan pemintasan jalan guna meraih sesuatu secara cepat atau instan. Sebagian besar masyarakat kita tidak mau mengambil jalan yang semestinya dilalui karena memakan waktu lama. Mereka berpikir untuk apa susah-susah, padahal ada jalan yang lebih mudah. Menerabas juga sering diasosiasikan dengan mentalitas yang melangkahi rambu-rambu kepatutan.

Pekerjaan berlumuran noda
Kehidupan polisi adalah gambaran kehidupan yang complex dan complicated sehingga ilmu yang dimilikinya pun tidak bisa hanya bersifat monodisiplin namun harus multidisiplin bahkan interdisipliner. Tidak cukup ilmu hukum dan ilmu sosial, melainkan harus pula menguasai ilmu forensik, psikologi, politik, budaya, kemiliteran dan sebagainya. Terutama dalam kedudukannya in optima forma dalam criminal justice system, polisi adalah garda terdepan yang seharusnya mampu bertindak sebagai hukum yang hidup. Di tangan polisilah hukum itu mengalami pengejawantahan. Baik buruknya wajah penegakan hukum dimulai dari tahap pertama ini. Di tahap ini pula apabila polisi tidak jujur, merugikan orang lain serta tidak dapat bertindak adil, polisi akan terjerumus dalam kubangan noda. Oleh karenanya, di beberapa literatur disebutkan bahwa pekerjaan polisi itu disebut sebagai tainted occupation (pekerjaan yang berlumuran noda). Aiptu Sulaiman di Madina (Sumatera Utara) ternyata mampu menempatkan diri di luar kubangan itu hingga Sulaiman dijuluki “polisi nabi”, meskipun mungkin julukan itu terlalu berlebihan dan tidak tepat dalam konteks keagamaan.

Yang saya persoalkan dalam tulisan ini adalah, mengapa “polisi nabi” itu baru muncul (2013) dan hanya disandang oleh seorang polisi berpangkat rendah yakni Aiptu Sulaiman Harahap, Bintara Tinggi Ajun Inspektur Polisi Satu—dulu Pembantu Letnan Satu---setelah bekerja sebagai polisi selama 36 tahun? Mengapa belum ada—atau belum diberitakan adanya-- “Kapolres nabi”, “Kapolda nabi”, “Kapolri Nabi”, Gubernur AKPOL nabi”, “Jenderal nabi”? Apakah karena semakin tinggi pangkat, semakin complex dan complicated kehidupan sehingga membuat penyandangnya sulit untuk memiliki sifat humanitas sehingga terus terjebak dalam kubangan tainted occupation? Apabila para petinggi polisi tidak mampu menjadi “polisi nabi”, lalu dapatkah dijamin bawahan-bawahannya dapat menjadi “polisi nabi”?

Apakah Satuan-satuan di kepolisian belum memiliki “komandan polisi nabi”? Hal ini tentu membutuhkan pengkajian lebih intensif. Namun, secara sederhana mungkin dapat dipakai logika hipotesis bahwa semakin tinggi pangkat dan jabatan, semakin sulit orang untuk berbuat jujur, tidak merugikan orang lain serta bertindak adil dan mungkin juga semakin sulit untuk tidak korup. Sebagai sebuah hipotesis, tentu saja dapat terbukti dan dapat pula tidak terbukti di negara Pancasila ini.

Untuk mencetak "polisi nabi" peran Kapolri menjadi kunci utama dalam rangka meraih dan mengawal visi Polri. Karakter pejuang (vigilante) dan berani (braveness) melakukan lompatan-lompatan baru sangat dibutuhkan Polri agar “polisi-polisi nabi” di belakang Aiptu Sulaiman bermunculan semakin banyak. Beranikah Kapolsek, Kapolres, Kapolda, bahkan Kapolri memulai menjadi “polisi nabi’ sehingga berani tampil jujur, pemurah, tidak korup dan tidak menyalahgunakan kekuasaannya (abuse of power) dengah dalih diskresi.

Komentar

Artikel Pilihan

Mimpi Model Khilafah Di Tengah Dunia Demokrasi

Kriteria Organisasi yang Bertentangan dengan Pancasila

Gerakan Pakai Peci Putih