Negara Hukum II: Intimidasi Ilmuwan

Negara Hukum II : INTIMIDASI ILMUWAN
(Cerita Kehidupan Oleh AM. Ruslan)

Pagi itu, rumah pakteki Warno atau yang lebih akrab dipanggil ust. Arno terlihat ramai. Beberapa pasang sandal dan sepatu berjejer rapi, sementara dari dalam ruang tamu terdengar suara seperti menyusun sebuah acara atau istilah kerennya “rundown acara”.

“Besok insyaa Allah, akhina Yusuf siap menjadi pembaca tilawah”“Apakah yang bersangkutan sudah dikonfirmasi?” ust. Arno memastikan“Alhamdulillah, sudah tadz” jawab kang Firman,“Tadz!”“Ya”“Hp nya bordering, tadz” Arif menunjuk Hp ust. Arno yang ada di sampingnya“o iya… makasih, Kang!”tidak lama kemudian terdengar suara dari seberang telepon dan tiba-tiba mimik wajah beliau berubah tidak bersahabat. “Ada masalah kah, Tadz?” semua bertanya dalam waktu bersamaan dengan perasaan gelisah.

***
“Hadiri seminarku besok jam 10.00 di hotel Candi” terdengar tawa dari para mahasiswa,
“iya, Proof!” Prof. Teki tersenyum sesekali tertawa ringan diantara mahasiswanya. Belum sampai beliau di mejanya, handphonenya berdering. Prof. Teki mengangkat tangan kirinya meminta mahasiswa yang ada untuk tenang.

“Iya, benar! saya sendiri” jawab Prof Teki
“Apa? Kenapa Bisa? Mas, dimana sekarang?” Prof. Teki terlihat tidak nyaman. Khawatir lebih tepatnya “Okay! Tunggu saya di sana, 5 menit lagi saya sampai” Prof. Teki menutup teleponnya dan bergegas menuju ruang parker mobilnya. Semua yang ada di ruang kuliah itu saling memandang dalam tanda Tanya, “ADA APA DENGAN PROFESOR?”

Prof. Teki terlihat tidak nyaman. Beliau memacu mobilnya dengan kecepatan penuh, berharap detik itu juga ada di tempat yang dijanjikan. Baru kali ini beliau merasakan sesuatu yang seakan mendesaknya untuk bersegera. Dulu, hanya ujian gelar professor yang membuat beliau tidak bisa tidur bahkan hampir melupakan sarapan.
“Mas… sarapan dulu, nanti nggak bisa fokus menjawab pertanyaan dari para penguji kalau perut mas keroncongan” kata istrinya setelah selesai menyuguhkan sarapan di atas meja. Itu sudah lama, beberapa tahun lalu. Setelah mendapat gelar professor, belaiu hampir tidak pernah mendapat masalah yang membuatnya tidak nyaman. Baru kali ini. Iya, baru kali ini.

“Ma’af, Saudara tidak bisa menyelenggarakan acara seminar bertema tentang KEKHILAFAHAN. Silahkan bahas Islam apa saja, tetapi jangan KHILAFAH. Udah itu aja!” kata seorang polisi pada ust. Arno. Sebelumnya, ust. Arno sudah mendatangi pihak hotel yang membatalkan sepihak penyewaan ruang aula dan saat itu juga mengembalikan pembayarannya kepada beliau dengan alasan pihak kepolisian setempat tidak mengijinkan.

“Khilafah adalah ajaran Islam, Pak! Apa ada masalah dengan ajaran Islam mengenai Khilafah?” Tanya ust. Arno dengan tetap menjaga kesopanan
“Tentu saya tidak mempermasalahkan ajaran Islam, tapi KHILAFAH… hmmm… ma’af tidak bisa dibahas di negeri ini”
“Apa??? Tidak bisa dibahas di negeri ini???” Suara Prof. Teki dari luar membuat semua aparat di polsek itu mengarah pada beliau.
“Anda siapa?” Tanya seorang aparat karena merasa terganggu dengan kalimat Tanya yang ia dengar barusan.
“Saya Prof. Teki, Guru besar Fakultas Hukum. Baru-baru ini saya menjadi penguji calon AKPOL atas permintaan KAPOLDA, atasan kalian” jawab Prof. Teki sambil berjalan masuk. Semua terdiam, ust. Arno langsung mendekat ke Prof. Teki dan menjelaskan hal ikhwal permasalahan yang terjadi.
“memang ada masalah apa kalau seminar itu diadakan? Ada gangguan keamanan? Kalau masalah gangguan, bukankah itu tugas dari bapak yang terhormat?”
“Benar, Prof! kami bisa menangani, hanya saja ini sudah masuk ranah keamanan nasional yang mesti harus ditindak tegas?”
“Keamanan nasional? Ahaha… bagaimana mungkin dikatakann mengamcan keamanan nasional?” Prof. Teki keheranan tak percaya sementara ust. Arno hanya berdiri disamping beliau.

Seorang aparat berlari menuju kapolsek, membisiki sesuatu kemudian memberikan handphope padanya. “Iya, Pak! Beliau ada di sini” sejurus kemudian Kapolsek menyerahkan handphone ditangannya pada Prof. Teki, “dari Pak Kapolres, beliau ingin bicara dengan Anda, Prof!” Prof. Teki meraih handphone tersebut dan langsung mendengar sapa dari Pak Kapolres,

“bagaimana kabarnya, Prof?”
“Seperti yang Anda tahu bahwa seminar saya digagalkan oleh anak buah anda, Pak Kapolres!”
“Ahaha… iyakah? Anggap saja saya telah menyelamatkan Anda Prof dari jeratan ideology Khilafah. Anda tidak seharusnya berbicara masalah itu” suara dingin Kapolres seakan mengandung sebuah ancaman.
“Apa maksud Anda, Pak Kapolres? Saya tidak seharusnya membincangkan masalah KEKHILAFAHAN? Apakah Guru besar seperti saya pun "tidak berhak" untuk mengupas, menyandingkan, menandingkan antara Islam, Keindonesiaan serta Khilafah?
“Bukan itu maksud saya, Prof! Anda berhak untu mengisi acara seminar apa saja termasuk tentang Khiafah, tapi bukan di acara ormas yang akan dibubarkan. Anda paham maksud saya, Prof?” kali ini suara itu memperjelas arah pembicaraannya dari awal.

Prof. Teki melirik ust. Arno disampingnya, kemudian berkata, “saya ini bukan anggota HTI. Saya hanya ingin mendudukkan bagaimana Relasi antara agama dan negara secara keilmuan. Relasi antara Kitab suci dan Konstitusi. Bagaimana kedudukan Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara, bisakah Indonesia dengan sistem khilafah.. Ini didiskusikan secara terbuka. Disaksikan orang banyak, tidak ada rencana makar juga..laaah bahayanya di mana?Apa salahnya? Masalah pembubaran ormas itu masih dalam rencana setahu saya, belum ada gelar perkara dipengadilan. Itu artinya ormas ini masih legal dan masih bisa menggelar acara apapun, termasuk seminar yang saya harus isi besok. Jadi, saya minta jangan menghalangi kebebasan organisasi masyarakat yang telah dilindungi oleh UUD kita” Profesor mengancam balik.

Jam dinding Polsek berdentang. Pukul 12.00, itu berarti sudah dua jam lebih mereka berkutat dengan masalah perizinan acara seminar. Hampir semua petugas piket kepolisian menyimak pembicaraan Prof. Teki dan atasan mereka. Ada wajah saling Tanya yang tak sempat terekpresikan dari dalam diri. Hidup kadang harus menjadi pesuruh yang setia agar tidak mendapat masalah. Menyedihkan!

“Prof. mengancam saya?”
“Ooh.. tentu saya tidak memiliki kapasitas untuk mengancam orang, apalagi Pak Kapolres”
“Ingat, Prof! Anda adalah bagian dari Pemerintah, harusnya membantu menyukseskan program Pemerintah. Bukan melawan seperti yang anda lakukan sekarang” Suara Kapolres diseberang telepon berakhir setelah kalimat pengingat atau lebih tepatnya ancaman kepada Prof. Teki. Tidak ada yang bisa dilakukan Prof. Teki dan ust. Arno selain dari mengelus dada tidak percaya apa yang dialami hari ini.

Dalam hatinya, Prof. Teki bertanya,
“Masihkah kita berani menyombongkan diri dan berkata: Sungguh ilmu itu bebas nilai!?
Pintu telah tertutup, tinggal jendela kecil untuk hirup segarnya udara berdebu. Masih adakah ilmuwan sejati bertahan di negeri ini? INI INTIMIDASI ILMUWAN

Komentar

Artikel Pilihan

Mimpi Model Khilafah Di Tengah Dunia Demokrasi

Kriteria Organisasi yang Bertentangan dengan Pancasila

Gerakan Pakai Peci Putih