Negara Hukum III: Persekusi
Negara Hukum III : PERSEKUSI
(Cerita Kehidupan oleh AM. Ruslan)
“Satu orang sudah ditangkap dan saya perintahkan untuk dikembangkan. Dan kemudian yang lai-lainnya seperti di Sumatera Barat agar dilakukan proses hukum supaya tidak terulang lagi. Tidak boleh main hakim sendiri. Kalo ada apa-apa laporkan pada kepolisian, tidak boleh melakukan upaya-upaya sendiri. Dan saya peritekintahkan pada kepolisian kalo ada yang melakukan upaya itu, jangan takut, saya akan back up. Tindak tegas sesuai aturan yang berlaku” ungkap pihak kepolisian RI di tengah-tengah awak media.
“Sepertinya, sudah mendapat perintah resmi, ya dari kepolisian untuk melawan tindak PERSEKUSI” dua report berita saling tatap dan setelah bercakap-cakap untuk beberapa detik, mereka melanjutkan berita malam itu.
Prof. Teki duduk selonjoran di depan televisi sambil menikmati kopi hitam buatan sang isteri. Hari ini beliau merasa capek, energinya serasa terkuras habis oleh perdebatan tidak berguna di kantor kepolisian tadi pagi.
“Polisi serius melakukan perlawanan kepada ormas yang melakukan tindak PERSEKUSI, Mas?” isterinya membuka percakapan
“Menurutmu, ormas yang ditindak itu melakukan PERSEKUSI?” Prof. Teki meletakkan cangkir kopi di samping beliau sambil meraih remote televise yang sejurus kemudian menekan tombol off. Layar televisi tertutup. Mati.
PERSEKUSI menjadi perbincangan yang hangat beberapa hari ini. Lagi-lagi polisi yang menjadi "episentrum" viralnya istilah ini. Padahal sebelum munculnya konflik vertikal ulama dan umaro serta konflik horizontal antara sesama anggota masyarakat pelaku hate speech. Istilah persekusi tidaklah populer dalam criminal justice system kita maupun dalam perbincangan warga masyarakat. Mereka mengenal istilah yang lebih populer yakni PERKUSI. Musik yang melenakan.
“PERSEKUSI dalam bahasa yang lebih gampang dipahami sebagai perbuatan (lisan, tulisan, tindakan) seseorang atau kelompok orang (misal A) menghakimi seseorang (misal si B) yang diduga melakukan perbuatan (lisan, tulisan, tindakan) yang dinilai telah merendahkan, merugikan pihak A (perbuatan X) dengan cara melakukan kekerasan, ancaman kekerasan dengan tujuan supaya pihak tersebut melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu (misal Y)” Prof. Teki memperbaiki posisi duduk, kini beliau menatap isterinya.
“Kalau begitu, ormas itu melakukan semacam SOFT LYNCH, dong?”
“SOFT DRINK?” Prof. Teki menggoda
“Ahaha… Bukan, Mas… Mas ini ada-ada saja!
“Soft Lynch, sebuah tindakan menghukum mati tanpa pemeriksaan pengadilan. Sementara, Mas tahu sendiri kan? ada pihak yang seharusnya berwewenang menangani hal tersebut yaitu aparat kepolisian. Jadi, boleh dong?! Aparat menindak tegas ormas tersebut?” sang istri memandang suaminya berharap argumennya di”iya”kan.
“Sayaang..” Prof. Teki memanggil lembut
“TIDAK AKAN ADA ASAP KALAU TIDAK ADA API.
Memang benar lynch adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan karena dapat melanggar HAM seseorang karena menghakimi seseorang tanpa proses peradilan yang fair. Namun yang harus kita perhatikan adalah hate speech, atau hate action dari korban persekusi ini. Adalah tidak fair apabila polisi hanya menindak pelaku persekusi sementara korban yang nota bene nya menjadi trigger persekusi tidak diproses secara hukum. Bahkan seolah dibiarkan dan dilindungi sebagai KORBAN PERSEKUSI. Bila mau fair, semua harus ditindak, toh! polisi bisa gunakan UU ITE atau bisa menggunakan KUHP. Polisi juga harus memahami bahwa tidak semua perbuatan klarifikasi oleh suatu kelompok kepada orang atau kelompok lain sebagai perbuatan persekusi yang haruss dipidanakan. Jadi, Not all activities as legal cases. And not all of legal cases have to be solved through legal positivism” Sang isteri memandang suaminya takjub, seorang guru besar hukum telah berbicara pada tataran yang seharusnya ia bicarakan. “Aku beruntung di sampingnya” bisik hati sang isteri.
“Termasuk sekelompok orang yang mengintimidasi acara seminar mas kemarin?”
“Ya..harusnya seperti itu” lengang sejenak. Kopi hitam manis buatan sang isteri kembali menemani ingatan Profesor akan rangkaian kejadian seharian ini.
***
“Malam, mbak! Boleh kami bertemu dengan manager hotel?”
“Boleh, sebentar saya hubungi. O iya, ma’af! Kalau boleh tahu mas-mas ini darimana?”
“Kami dari kelompok PEMBELA NKRI dan PANCASILA” jawab seorang berkopiah hitam dengan setelan loreng menyerupai seragam TNI. Beberapa menit kemudian, resepsionis mempersilahkan kelompok PEMBELA itu menemui sang manager diruangannya.
“Mas-mas, lurus saja dari sini. Nanti ada tanda panah bertulis ruang manager di depan, silahkan ikuti itu, terima kasih!” ia melempar senyum termanisnya dan kelompok pembela itu berjalan sesuai arahan resepsionis tadi.
“Kami hanya menyarankan bapak manager untuk membatalkan acara seminar besok lusa jika tidak ingin hotel ini dicap sebagai hotel pembantu atau yang berkontribusi merongrong negara Pancasila” ungkap ketua kelompok itu dengan dingin. Sang manager terdiam, “Bapak belum melihat berita kalau ormas ini akan dibubarkan oleh Pemerintah karena Anti Pancasila dan Paham Khilafahnya?” ia masih mengintimidasi manager hotel berharap agar acara seminar politik hari ahad itu dibatalkan.
Setelah berpikir ekstra, sang manager meraih telepon disamping,
“Tolong batalkan acara seminar politik besok yang diselenggarakan HTI, kamu kasih alasan apa saja yang penting hotel kita membatalkannya. Paham?”
“iya, Pak”
“Terima kasih pak manager atas kerjasamanya” ketua kelompok itu tertawa penuh kemenangan.
Dan ke esokan harinya, pihak hotel menghubungi panitia acara dan menyampaikan pembatalan penyewaan aula. Kontan saja, panitia kalang kabut menanyakan perihal alasan pembatalan tersebut.
“ada apa? Kok bisa mendadak begini, mbak?” ust. Arno meminta penjelasan
“Ma’af, bapak! Kami didatangi oleh kelompok yang menamakan dirinya KELOMPOK PEMBELA NKRI & PANCASILA meminta kami untuk membatalkan acara, kalau tidak…”
“Kalau tidak apa, mbak?”
“begini, Pak… bapak sebaiknya ke kantor polisi setempat atau langsung ke POLDA untuk mengurus surat izin acara ini agar lebih aman”. Resepsionis itu memberi saran
Ust. Arno heran. Setahu beliau acara seperti ini tidak perlu meminta izin dari kepolisian apalagi sampai level POLDA. UU mengatur dengan jelas di sana, poin no. 4 dan 5 menyebutkan dengan gamblang. Bagaimana ini?
Itulah kronologis kejadian yang diceritakan oleh ust. Arno kepada Prof. Teki ketika beliau berdua keluar dari kantor kepolisian sektor setempat.
Miris memang hukum yang berlaku di negeri ini sekarang. Ketika ada kelompok lain melakukan tindakan melanggar hukum, namun, kepolisian berdiam diri dan seakan mengamini perilaku tersebut. Tetapi ketika ada ormas melakukan pembelaan atau mencoba membuat lingkungan masyarakat aman dari gangguan GENG MOTOR misalnya, mereka langsung dituduh melakukan PERSEKUSI.
Ruang keluarga masih terlihat hangat oleh dua pasangan suami isteri. Prof. Teki beserta isteri. Kopi hitam manis masih setia menemani bersama sepiring kue khas daerah
“Pihak yang berwewenang tidak harus menggerakkan MESIN CRIMINAL JUSTICE SYSTEM” Prof. Teki memecah kesunyian.
“Konsep pemberdayaan masyarakat utk menangani sendiri permasalahan hukumnya sebenarnya dapat diberikan toleransi sepanjang tidak dilakukan secara berlebihan dan tetap dalam pengawasan pihak aparatur pemerintahan. Kalau semua tindakan pengamanan sendiri yang diinisiasi oleh rakyat selalu dianggap sebagai persekusi, maka jangan heran bila tiba masanya semua orang CUEK terhadap semua perkara di sekelilingnya karena takut dituduh persekusi. Meme berikut ini sebagai gambaran bahwa rakyat telah menyerahkan all legal cases kepada kepolisian dengan mengabaikan semua kejahatan di sekelilingnya.
Will you? Shall we? Or we shall ignore to this phenomena?
Bisakah kita mengandalkan polisi untuk menyelesaikan semua perkara hukum di lingkungan kita? I am not sure!” beliau menikmati kopi hitam terakhirnya, kemudian memandang isterinya,
“Ah.. sudahlah… malam telah larut, Ayoo kita tidur”.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan baik dan ilmiah......