Negara Hukum IV: Nggak Perlu Pintar

Negara Hukum IV : NGGAK PERLU PINTAR!!!
Alfatih Muhammad

“Aku bisa naikin pajak, naikin tarif listrik, Aku juga bisa jadi pejabat!!! Negara macam apa ini yang bisanya naikin tarif listrik sama pajak?!" Kai Syamsuddin mengumpat di depan televisinya sendiri.
Sepagi ini beliau sudah kehilangan selera menikmati kopi hitam buatan isterinya. Padahal setiap kali sang isteri menyuguhkan kopi hitam untuknya beliau selalu menghabiskan, yang tersisa hanya ampas.
“Kopi hitam yang manis! Semanis isteriku ini” kai Syamsuddin menggoda
“Aah.. kakek ini bisa saja!” sang isteri memukul lembut pundak sang suami sementara pipi keriputnya memerah karena sanjungan tadi.

Namun, pagi ini… kopi hitam manis di meja kayu itu terasa hambar, rasa manisnya hilang seketika kala reporter cantik di layar televisi memberitakan kenaikan tarif dasar listrik 300%. Ya, Pemerintah saat ini mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan tarif dasar listrik (TDL) hingga 300% bagi masyarakat pengguna listrik 900VA. Kebijakan ini dinilai banyak pihak semakin memberatkan masyarakat menengah ke bawah.

“Bukan menaikan tariff dasar listrik, Kai…! Tetapi menyesuaikan harga” ungkap suara di luar pekarangan.
“Eeh… pak Hadi! Silahkan masuk, Pak!” kai Syamsuddin keluar menyambut. Pak Hadi adalah pegawai PLN di daerahnya, beberapa keluhan pelanggan listrik selalu kepada beliau dan dengan murah hati beliau mendengar dan menyampaikan keluhan mereka meski tidak digrubris oleh atasannya.
“Apa maksud pak Hadi dengan perkataan tadi?” kai memulai percakapan.
“ooh.. penyesuaian? Sebenarnya, dari Pemerintah sendiri tidak ada kenaikan yang ada hanyalah penyesuaian harga pengguna 900 VA dengan 1300 VA supaya tidak terlalu timpang tindih” pak Hadi mencoba berdalih
“Penyesuaian harga dengan menaikan tarif maksud Pak hadi? hahaha… Pak Hadi ini pintar sekali menipu saya!” Pak Hadi merasa kikuk dihadapan kakek tua yang telah hidup lintas zaman pemerintahan. Serasa posisi raja dalam permainan catur yang di”SKAKMAT”

“Kalau orang tua ini piker-pikir! Orang-orang tidak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk berteori. Macam menjadi S-1, S-2, S-3 S… apalagi pak Hadi?”
“Sudah tidak ada lagi, Kai.. setelah S-3 atau doctor adalah Profesor” Pak Hadi meluruskan dengan nada merendah.
“Iya.. itu yang aku maksudkan” Kai memperbaiki posisi duduknya kemudian melanjutkan,
“Sudah terbukti to Pak Hadi, lulusan SMP bisa jadi menteri, lulusan SMA bisa jadi presiden, begitupun S1 bisa. Buat apa S2 dan S3 kalau hanya untuk menyusun tumpukan teori yang tidak berarti lagi? Menurut Kakek tua ini, Indonesia ini tidak butuh orang alim, pinter dgn berjibun paradigma, teori, konsep, prinsip, dogma-dogma. Semua itu hanya LIPSTIK”
“Iya.. Yang penting punya DUIT” Nenek ikut menimpali. Pak Hadi hanya mengangguk setuju tanpa berkata apa-apa lagi. Memang benar apa yang dikatakan oleh Kai dan Nenek tadi. Tidak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk menjadi pejabat di negeri ini, yang dibutuhkan hanya UANG!

Benar kata Marc Galanter: THE HAVES ALWAYS COME OUT AHEAD.Teori yang semula berfungsi untuk: GIVING EXPLANATION hanya berakhir sebagai macan kertas terbuang di bak sampah dan membusuk menebar bau tak sedap. Aroma hukum, aroma politik, aroma budaya dan aroma ekonomi terasa penuh udara berdebu. Selaksa teori tak lagi mampu mengurai mengapa udara berdebu.
“Mata kebanyakan manusia telah tertutup oleh ambisi, keserakahan hidup hingga seribu obor pun tak mampu membuat mata itu melek kembali”
Prof. Teki!!!” Pak Hadi kaget langsung berdiri menyambut.
“Kapan ke sini, kok nggak bilang-bilang dulu” Kai Syamsuddin menyalami Prof. Teki di tempat duduknya sendiri.
“Kebetulan ada reunian SD, jadi sekalian ke sini saja sama keluarga”
“jadi kalau nggak ada acara reunian, kamu nggak nengok ibumu yang sudah tua ini?” Nenek memeluk Prof. Teki dalam-dalam. Lengang sejenak… ada haru yang tiba-tiba menyelinap masuk di ruangan tamu rumah sederhana itu. Rindu itu meluap begitu saja.

“Jadi, menurut Prof. keadaan negeri sekarang bagaimana?” Pak Hadi memecah kesunyian.
“Rasa-rasanya sekarang seperti Zamannya Raja Lois XIV, dia menyingkirkan semua lawan politiknya dengan slogan “L'ETAT C'EST MOI” NEGARA ADALAH SAYA”. Mungkin slogan itu akan kembali memenuhi ruang-ruang publik dan siap menjadi alat peng-GEBUK lawan "bermain".
“Maksud Prof… Saya Pancaasila?” Pak Hadi meminta penjelasan
“Ya… sepertinya demikian kalau melihat fenomena sekarang ini, dimana teori bahasa seolah tak mampu menjelaskan, mengapa digunakan slogan: AKU PANCASILA, PANCASILA ADALAH AKU sebagai turunan NEGARA adalah SAYA. Lihatlah, Pak Hadi!” Prof. memandang kawan lamanya yang sedikit demi sedikit mulai paham.

“Ada orang-orang yang sudah tercemar namanya dinobatkanmenjadi IKON Negeri ini. Teori apapun tak akan mampu menjawab: bagaimana bisa seorang ateis, seorang komunis, seorang penganut ekonomi liberal dinobatkan sebagai PAHLAWAN-PAHLAWAN dan DUTA-DUTA PANCASILA?” Tanya beliau tidak habis pikir.

Negeri ini kian hari, kian memprihatikan. Pejabat mempertontonkan ketidaksenonohan pada rakyatnya seolah malu tidak ada lagi. Membisu-membisu dan membisu adalah cara terbaik untuk menyelamatkan diri dan teori.
“Mungkin 1000 tahun lagi teori itu dipungut kembali. Aku hanya bisa berseru lirih melihat keadaan ini, kawan lamaku!: Tunggulah, mana ada pesta itu abadi? Semua kan berakhir. Semua kan berpisah, kalau tidak sekarang, nanti itu pasti”

Komentar

Artikel Pilihan

Mimpi Model Khilafah Di Tengah Dunia Demokrasi

Kriteria Organisasi yang Bertentangan dengan Pancasila

Gerakan Pakai Peci Putih