Negara Hukum: Sebuah Cerita Kehidupan

Negara Hukum
(Sebuah cerita kehidupan oleh AM. Ruslan)

“Negara hukum mesti melindungi rakyatnya bahkan harus membahagiakan rakyatnya”.
Jelas Prof. Teki di hadapan para mahasiswanya. Prof. Teki adalah guru besar fakultas hukum di universitas itu. Pagi ini beliau mengisi kelas pasca sarjana dengan suasana yang sedikit energik, aroma perpolitikan nasional akhir-akhir ini yang sangat tidak kondusif memaksa berbagai kalangan merapat untuk membincangkan keberlanjutan kehidupan pohon besar bernama INDONESIA, terlebih lagi problem hukum yang ada dalam negeri yang menobatkan dirinya sebagai negeri DARUSSALAAM-Negara Damai-sangatlah mengiris hati, malu jika mendengar apalagi menceritakan kepada pihak luar. Sebuah Keadilan yang telah runtuh, hilang ditelan keserakahan politikus kotor.

“Ma’af, Prof!” suara mahasiswa didepannya memotong
“John Austin mengatakan hukum adalah perintah pihak yang berdaulat. Dengan kata lain yang membuat aturan adalah penguasa tanpa memikirkan kebaikan dan keburukannya bagi masyarakat. Artinya orientasin hukum yang dibangun adalah perintah “command” dari pihak penguasa. Di sisi lain masyarakat harus taat dan patuh pada perintah tersebut dan dipaksa untuk menjadikan ini sebagai tanggung jawab moral. Dan saya kira, ini yang terjadi sekarang?”

“Tentu hal itu bukanlah yang kita inginkan!” jelas Profesor hukum itu sambil melangkah mendekat kea rah mahasiswanya, menyapu semua wajah yang memandang penuh takzim.

“ Kita mengharapkan Negara benevolen. Yang ini tentu dimulai dari pemahaman semua kalangan elit yang kemudian menularkannya kepada masyarakat dengan regulasi yang baik serta sehat. Karena itu kebaikan dan kebenaran yang bersumber dari wahyu---yang nota bene--menjadi manual procedure hidup umat. Human law (hukum buatan manusia) mesti bersumber pada devine law (eternal law that revealed in scriptures) dan natural law (eternal law that discovered through human reason).

“Tapi, Prof! Negara kita bukanlah Negara agama yang harus merujuk pada devine law atau ayat Tuhan. Ini Negara Pancasila yang semua iris-iris hukumnya harus merujuk ke sana”
“Seperti usulan Pak Panjaitan maksudmu?”
“Iya, Prof!” mahasiswa lain ramai mengiyakannya.

Prof. Teki menarik nafas berat membayangkan usulan pak Panjaitan bahwa hakim seharusnya memutus perkara atas nama 'demi keadilan berdasarkan Pancasila'. Menurut Luhut, para advokat memiliki tanggung jawab moral dan formal sebagai penegak hukum untuk ikut membangun peradilan yang lebih baik. Gagasan perubahan irah-irah dilatarbelakangi oleh apa yang dirasakan sebagian praktisi hukum bahwa irah-irah dalam kepala putusan turut mempengaruhi jati diri bangsa Indonesia dalam kehidupan bernegara. "Ini merupakan hal yang mendasar,"menurutnya.

“Sobat” sapa beliau lembut pada seluruh mahasiswanya,
“pendapat saya terhadap IRAH-IRAHAN putusan hakim dengan kalimat:
"DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" adalah sudah sangat tepat. Tidak perlu diragukan lagi kebenarannya. Mengapa demikian? Karena Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sila yang mendasari keempat sila Pancasila lainnya. Sila ini pula diyakini sebagai sila yg menjiwai seluruh sila Pancasila lainnya.

Toh! Pencantuman Ketuhanan YME dibelakang kata DEMI KEADILAN, juga sesuai dengan Pasal 29 ayat 1 UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa: NEGARA BERDASAR ATAS KETUHANAN YANG MAHA ESA bukan NEGARA BERDASAR ATAS PANCASILA. Untuk apa ini ditegaskan? Hal ini disebabkan kita ingin menonjolkan bahwa Indonesia ini adalah RELIGIOUS STATE. Ini sebagai penajamam dari pernyataan pada PEMBUKAAN UUD NRI 1945 alinea ke-4 yang telah menyebutkan bahwa : .....pemerintahan negara berdasar kepada...Ketuhanan YME...dst. Semua sila disebutkan. Nah, kalau kita tarik ke tataran yang lebih praktis, bidang-bidang kekuasasn negara, baik bidang legislatif, yudikatif maupun eksekutif hendak pula mewujudkan kendak untuk mengintrusikan aspek religioussitas ke dalamnya. Mestinya penyebutan RELIGIOUS LEGISLATIVE, RELIGIOUS JUDICATIVE dan RELIGOUS EXECUTIVE bukanlah sesuatu yang asing bahkan menjadi sesuatu KENISCAYAAN atau sebagai konsekuensi bahwa Indonesia adalah religious state

Prof. Teki memberi jeda untuk para mahasiswanya mencerna dengan baik penjelasan itu

“Prof! tidak kah ini meniadakan Pancasila sebagai sebuah identitas bangsa dan Negara kita?” Suara ketidaksetujuan, mungkin lebih tepatnya memperjelas pertanyaan awalnya tadi

“ Seharusnya kalau kita bersepakat bahwa PANCASILA DASAR NEGARA itu harga mati, mestinya kita konsekuen bahwa RELIGIOUS STATE dan begitu juga RELIGIOUS JUDICATIVE yang dapat kita turunkan menjadi RELIGIOUS COURT juga harga mati. Kalimat "Ketuhanan YME" dibelakang "Demi Keadilan" tidak boleh diganti dengan kata PANCASILA saja hanya lantaran kondisi perpolitikan dan kemasyarakatan sesaat terkini. Apalagi dengan alasanmu itu.
Apa sih salahnya irah-irahan Putusan hakin yg berbunyi: "DEMI KEADILAN BERSADARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" hingga ada upaya untuk mengganti dengan: "DEMI KEADILAN BERDASARKAN PANCASILA"?

Dalam bahasa religious, hakim memeriksa hingga memutus perkara bukan hanya bertanggung jawab kepada negara dan rakyat, justru yg paling utama adalah bertanggung jawab kepada TUHAN YME. Artinya, sebenarnya hakim pun dlm memeriksa hingga memutus perkara tdk boleh bertentangan dengan Kitab suci (devine law) dan natural law (moral ethic and goodness). Berangkat dari argumentasi singkat inilah seharusnya dicegah upaya untuk mengubah IRAH-IRAHAN PUTUSAN HAKIM yang berlaku sekarang. Upaya pengubahan hanya akan berujung pada pengaburan status kita sebagai RELIGIOUS STATE yang di dalamnya ada kekuasaan kehakiman yang dijiwai oleh RELIGIOUS COURT.

So, kitab suci mesti di atas konstitusi sebagaimana ajaran Thomas Aquinas. Jadi, pembicaraan konstitusi include dasarnya mesti tidak boleh jauh dari persandingan dengan kitab suci sehingga hukum negara benar-benar bisa ditegakkan di bumi Indonesia ini”

“Prof!” seorang mahasiswa berambut klimis mengangkat tangan
“iya!”
“Jika kitab suci adalah dasar dalam human law, tidak kah ini berarti bahwa Negara harus memiliki agama resmi, hmm… maksud saya Agama Negara sehingga dari agama Negara tersebut, Negara bisa merujuk pada kitab sucinya dalam merumuskan hukum dan peraturan turunannya?

Prof. Teki tersenyum, menarik nafas ringan, kemudian dibalik senyum beliau berkata, “kau ingin tahu jawabannya?” semua mengangguk dan berkata “iya” “hadiri seminarku besok jam 10.00 di hotel Candi” semua mahasiswa tertawa dan Profesor Teki berjalan santai ke mejanya.

Handphone beliau berdering, “Kenapa bisa???” Tiba-tiba volume suara Prof. Teki meninggi. Semua yang ada di ruang kuliah itu memandang dalam tanda Tanya, “ADA APA DENGAN PROFESOR?”

Bersambung…
*Ini hanyalah cerita fiktif, apabila ada kesamaan nama tokoh dan tempatnya… itu merupakan unsur kesengajaan

Komentar

Artikel Pilihan

Mimpi Model Khilafah Di Tengah Dunia Demokrasi

Kriteria Organisasi yang Bertentangan dengan Pancasila

Gerakan Pakai Peci Putih