Konsistensi Pegiat Hukum Progresif
Suteki - Teman-teman netizen, postingan saya kali ini lebih panjang mengingat ada teman saya Saudari Siti Rofiah, mengoreksi konsistensi saya sebagai pegiat hukum progresif. Pada statusnya Saudari Siti Rofiah menyatakan pendapat sebagai berikut:
"INKONSISTENSI (beberapa pegiat) HUKUM PROGRESIF
Begini kesan saya pada beberapa orang (hanya beberapa, saya tidak menggeneralisir semuanya) yang selama ini disebut pakar hukum progresif:
Progresivitas mereka itu tidak konsisten. Saat membaca hukum positif, mereka selalu berargumen untuk memahaminya sampai beyond the text, tidak sekedar letterlijk. Tapi saat membaca teks kitab suci, mereka ngotot tidak mau pake metode tafsir. Ngotot karena menurut mereka kalimatnya sudah qath'i, sudah sharih. Kalo begitu ya begitu, tidak bisa yang lain, namanya juga kitab suci. Mereka memahami teks Qur'an sebagai benda mati. Tidak boleh ada dialektika di dalamnya. Padahal ustadz saya jaman ibtidaiyah, di pelajaran Ulumul Qur'an, mengatakan bahwa dalam memahami ayat al-Qur'an itu penting memahami asbabun nuzulnya, sejarah turunnya. Itu masih belum masuk pada kajian tafsir lho. Lha sekarang mereka (mereka yang saya maksud dari awal itu) tidak mau dikenalkan sama segala rupa jenis-jenis tafsir, katanya gak perlu. Kalo Ibnu Katsir masih hidup pasti dia senyum-senyum lihat orang seperti ini.
Dan sekarang yang tambah lucu, ada yang meletakkan al-Qur'an dan konstitusi (UUD 45) secara hierarkis. Memberikan pilihan antara al-Qur'an dan UUD, mau milih yang mana, mana yang lebih tinggi, mana yang mau lebih ditaati. Ini menurut saya lucu sekali. Jaka sembung naik ojek, gak nyambung jek. al-Qur'an jelas tidak bisa diletakkan secara hierarkis dengan UUD.
Bagi saya kandungan al-Qur'an itu sangat luas. Prinsip-prinsip universal kemanusiaan di dalam al-Qur'an itu yang kemudian di-adopt dalam konstitusi, seperti nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, penghargaan atas hak-hak manusia, persamaan derajat, dll. Jadi, kontitusi itu tidak bertentangan dengan al-Qur'an, begitu juga sebaliknya.
Yang lebih lucu lagi, ini masih ada kaitannya dengan al-Maidah ayat 51 lho, saudara-saudara. Ya Allah kok ora pada mup on mup on. Liyane wes katam juz telungpuluh iki iseh nderes al-Maidah 51, katanya biar jadi generasi al-Maidah 54. Nek meh jadi generasi al-Maidah 54 mbok kae ikut solidaritas semen. Ikut jihad melawan korporasi-korporasi busuk. Kapir itu lho mereka yang korupsi, mereka yang menindas petani.
Bar ngono mesti aku meh diarani: orang yang ingin melemahkan Islam. Itu justru penghinaan terhadap Islam namanya, masa iya Islam bisa dilemahkan sama emak-emak yang hobi dasteran kalo di rumah. Apalah saya ini. "Cape deeehh"
Saya sebagai orang yang disinggung oleh Saudari Siti Rofiah perlu memberikan tanggapan sebagai berikut:
Pertama. Perlu diketahui bahwa saya mengusung hukum progresif yang tidak anti dengan undang-undang. Hukum progresif berusaha untuk menggunakan UU itu dalam rangka "bringing justice to the people". Jadi tidak ada salahnya menggunakan teks pun selama mampu menghadirkan keadilan sebagaimana diharapkan, ya tidak apa-apa. Namun, ketika penggunaan teks saja tidak mampu menghadirkan keadilan di sinilah perlu dilakukan rule breaking dengan cara:
Kedua. Persoalan Kitab Suci dan Konstitusi. Kendati saya penyebar virus hukum progresif, di wall saya sudah menyatakan bahwa KITAB SUCI (RELIGION) memang berada di atas KONSTITUSI (STATE LAW) berdasarkan konsep THOMAS AQUINAS yang dapat dilacak melalui buku LAW CAVENDISH CARD. State law (HUMAN LAW) dikatakan sebagai HUKUM yang bersumber dari DEVINE LAW (Revealed in scripture): KITAB SUCI dan NATURAL LAW (Discovered by human reason): MORAL ETHIC. Jadi dari sini saya berani menyatakan bahwa KITAB SUCI itu di atas KONSTITUSI. Berarti konstitusi tidak boleh bertentangan dengan kitab suci. Saya kira secara tersirat tulisan Mba Siti juga mengakui keadaan ini. Bukan membandingkan dan menyandingkan, tetapi mencari sumber hukum dari suatu hukum tertentu. Misal kitab suci mengharamkan minuman keras, maka state law tidak boleh menghalalkan minuman keras. Ini fair, setidak-tidaknya untuk penganut kitab suci tersebut. Ketika hukum negara memaksakan diri untuk halalkan miras, maka penganut kitab suci itu pasti akan memberontak tanpa dikomando siapa pun.
Ketiga. Saya mengaitkan relasi ordinat sub ordinat tersebut dalam pilkada. Salahkah? Nalar yang jernih akan menyatakan benar bahwa KITAB SUCI, AL QURAN (RELIGION) dalam hal ini PADA BEBERAPA AYAT, BUKAN HANYA AL MAIDAH 51, melarang ORANG YANG BERIMAN untuk MENJADIKAN YAHUDI DAN NASRANI sebagai AULIYA. Auliya "juga" diartikan sebagai PEMIMPIN. MEMILIH GUBERNUR bagi ORANG BERIMAN itu berada pada dua pijakan yaitu: KITAB SUCI dan KONSTITUSI. KITAB suci juga hukum yang harus ditaati oleh orang beriman tadi. KONSTITUSI juga mengatur hak dan kewajiban untuk memilih dan dipilih dalam Pilkada ini dan kita harus ingat bahwa KONSTITUSI JUGA MENJAMIN WARGA NEGARANYA UTK MENJALANKAN IBADAH SESUAI DGN AGAMANYA. Berdasarkan konsep UDKHULU FISILMI KAAFFAH, maka kegiatan politik pilkada itu juga salah satu lahan bagi umat beriman untuk beribadah.
Apakah ibadah itu hanya sholat? Bukan kan?
Nah, dalam pandangan saya, ibadah ini harus juga dilihat scr progresif. Maka, pertanyaannya: SALAHKAN KETIKA ORANG BERIMAN TADI MEMILIH CALON PEMIMPIN BERDASARKAN LATAR BELAKANG AGAMANYA dan berpegang pada larangan untuk menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai auliya---yang juga dimaknai pemimpin? Apakah cara itu mau dinyatakan INSKONTISUSIONAL, MELAWAN KONSTITUSI DAN BAHKAN DIKATAKAN INTOLERANCE? Tidak bukan? Saya tidak anti dengan TAFSIR apa pun, tetapi klo suatu penafsiran itu dilakukan justru menjauhkan umat dari hakikat perintah Alloh,, lebih baik saya tinggalkan tafsir itu. Dan ingat, saya selalu pegang prinsip KEMBALI KE AL QURAN DAN HADITS.. .KEMBALI KE HASIL MUKTAMAR NU 1999 dalam menyikapi memilih pemimpin non muslim. Apa artinya ini? Saya pun menghargai tafsir kyai-kyai NU melalui HASIL MUKTAMAR NU 1999.
Keempat. Mbak Siti Rofiah, saya harapkan lebih tawadhu dalam menyampaikan pendapat dengan cara menyebut dengan jelas siapa ORANG yang saudari maksud pakar hukum progresif yang saudari katakan INKONSISTEN dengan melihat status-statusnya di facebook ini. Klo yag sdr maksud itu SUTEKI, akan lebih fair bila saudari juga tanggapi di wall saya. Silahkan corat-coret di situ. Meski demikian, perbedaan pendapat ini hal yang wajar. Mungkin saya yang harus belajar banyak dari Mbak Siti agar lebih bisa mengerti apa itu HUKUM PROGRESIF. Terima kasih.
Kelima. Terkait dengan generasi Al Maidah 54. Saya sebagai bagian umat juga tidak tinggal diam dalam hal:
Mungkin teman-teman bosan melihat postingan-postingan saya yang dikatakan belum MOVE ON dari Al Maidah 51 dan seterusnya. Mengapa saya tidak bosan bicara tentang ini? KARENA SEMAKIN BANYAK JUGA YANG TIDAK "NGEH" dengan persoalan umat Islam ini. Banyak yang berpikir pragmatis dengan PRINSIP YANG PENTING TIDAK MERUGIKAN DIRINYA. Ini pemikiran yang sangat fatalistik menurut saya. Kita tidak peduli lagi dengan nasib AGAMA ke depan dan bagaimana nasib generasi kita di depan bila sekarang kita CUEK. Biarlah orang lain sudah khatamkan QURAN seribu kali, tapi saya usahakan misi kepemimpinan yang sesuai dengan tuntunan Quran dan hadist dapat terwujud kini dan di masa depan.
"INKONSISTENSI (beberapa pegiat) HUKUM PROGRESIF
Begini kesan saya pada beberapa orang (hanya beberapa, saya tidak menggeneralisir semuanya) yang selama ini disebut pakar hukum progresif:
Progresivitas mereka itu tidak konsisten. Saat membaca hukum positif, mereka selalu berargumen untuk memahaminya sampai beyond the text, tidak sekedar letterlijk. Tapi saat membaca teks kitab suci, mereka ngotot tidak mau pake metode tafsir. Ngotot karena menurut mereka kalimatnya sudah qath'i, sudah sharih. Kalo begitu ya begitu, tidak bisa yang lain, namanya juga kitab suci. Mereka memahami teks Qur'an sebagai benda mati. Tidak boleh ada dialektika di dalamnya. Padahal ustadz saya jaman ibtidaiyah, di pelajaran Ulumul Qur'an, mengatakan bahwa dalam memahami ayat al-Qur'an itu penting memahami asbabun nuzulnya, sejarah turunnya. Itu masih belum masuk pada kajian tafsir lho. Lha sekarang mereka (mereka yang saya maksud dari awal itu) tidak mau dikenalkan sama segala rupa jenis-jenis tafsir, katanya gak perlu. Kalo Ibnu Katsir masih hidup pasti dia senyum-senyum lihat orang seperti ini.
Dan sekarang yang tambah lucu, ada yang meletakkan al-Qur'an dan konstitusi (UUD 45) secara hierarkis. Memberikan pilihan antara al-Qur'an dan UUD, mau milih yang mana, mana yang lebih tinggi, mana yang mau lebih ditaati. Ini menurut saya lucu sekali. Jaka sembung naik ojek, gak nyambung jek. al-Qur'an jelas tidak bisa diletakkan secara hierarkis dengan UUD.
Bagi saya kandungan al-Qur'an itu sangat luas. Prinsip-prinsip universal kemanusiaan di dalam al-Qur'an itu yang kemudian di-adopt dalam konstitusi, seperti nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, penghargaan atas hak-hak manusia, persamaan derajat, dll. Jadi, kontitusi itu tidak bertentangan dengan al-Qur'an, begitu juga sebaliknya.
Yang lebih lucu lagi, ini masih ada kaitannya dengan al-Maidah ayat 51 lho, saudara-saudara. Ya Allah kok ora pada mup on mup on. Liyane wes katam juz telungpuluh iki iseh nderes al-Maidah 51, katanya biar jadi generasi al-Maidah 54. Nek meh jadi generasi al-Maidah 54 mbok kae ikut solidaritas semen. Ikut jihad melawan korporasi-korporasi busuk. Kapir itu lho mereka yang korupsi, mereka yang menindas petani.
Bar ngono mesti aku meh diarani: orang yang ingin melemahkan Islam. Itu justru penghinaan terhadap Islam namanya, masa iya Islam bisa dilemahkan sama emak-emak yang hobi dasteran kalo di rumah. Apalah saya ini. "Cape deeehh"
Saya sebagai orang yang disinggung oleh Saudari Siti Rofiah perlu memberikan tanggapan sebagai berikut:
Pertama. Perlu diketahui bahwa saya mengusung hukum progresif yang tidak anti dengan undang-undang. Hukum progresif berusaha untuk menggunakan UU itu dalam rangka "bringing justice to the people". Jadi tidak ada salahnya menggunakan teks pun selama mampu menghadirkan keadilan sebagaimana diharapkan, ya tidak apa-apa. Namun, ketika penggunaan teks saja tidak mampu menghadirkan keadilan di sinilah perlu dilakukan rule breaking dengan cara:
- Dgn kecerdasan spiritualnya untuk NOT RULE BOUNDED.
- Mengutamakan MAKNA dengan DEEP INTERPRETATION.
- PEDULI kepada kaum marginal dengan merasa terlibat pada penderitaannya sebagai COMPASSION.
Kedua. Persoalan Kitab Suci dan Konstitusi. Kendati saya penyebar virus hukum progresif, di wall saya sudah menyatakan bahwa KITAB SUCI (RELIGION) memang berada di atas KONSTITUSI (STATE LAW) berdasarkan konsep THOMAS AQUINAS yang dapat dilacak melalui buku LAW CAVENDISH CARD. State law (HUMAN LAW) dikatakan sebagai HUKUM yang bersumber dari DEVINE LAW (Revealed in scripture): KITAB SUCI dan NATURAL LAW (Discovered by human reason): MORAL ETHIC. Jadi dari sini saya berani menyatakan bahwa KITAB SUCI itu di atas KONSTITUSI. Berarti konstitusi tidak boleh bertentangan dengan kitab suci. Saya kira secara tersirat tulisan Mba Siti juga mengakui keadaan ini. Bukan membandingkan dan menyandingkan, tetapi mencari sumber hukum dari suatu hukum tertentu. Misal kitab suci mengharamkan minuman keras, maka state law tidak boleh menghalalkan minuman keras. Ini fair, setidak-tidaknya untuk penganut kitab suci tersebut. Ketika hukum negara memaksakan diri untuk halalkan miras, maka penganut kitab suci itu pasti akan memberontak tanpa dikomando siapa pun.
Ketiga. Saya mengaitkan relasi ordinat sub ordinat tersebut dalam pilkada. Salahkah? Nalar yang jernih akan menyatakan benar bahwa KITAB SUCI, AL QURAN (RELIGION) dalam hal ini PADA BEBERAPA AYAT, BUKAN HANYA AL MAIDAH 51, melarang ORANG YANG BERIMAN untuk MENJADIKAN YAHUDI DAN NASRANI sebagai AULIYA. Auliya "juga" diartikan sebagai PEMIMPIN. MEMILIH GUBERNUR bagi ORANG BERIMAN itu berada pada dua pijakan yaitu: KITAB SUCI dan KONSTITUSI. KITAB suci juga hukum yang harus ditaati oleh orang beriman tadi. KONSTITUSI juga mengatur hak dan kewajiban untuk memilih dan dipilih dalam Pilkada ini dan kita harus ingat bahwa KONSTITUSI JUGA MENJAMIN WARGA NEGARANYA UTK MENJALANKAN IBADAH SESUAI DGN AGAMANYA. Berdasarkan konsep UDKHULU FISILMI KAAFFAH, maka kegiatan politik pilkada itu juga salah satu lahan bagi umat beriman untuk beribadah.
Apakah ibadah itu hanya sholat? Bukan kan?
Nah, dalam pandangan saya, ibadah ini harus juga dilihat scr progresif. Maka, pertanyaannya: SALAHKAN KETIKA ORANG BERIMAN TADI MEMILIH CALON PEMIMPIN BERDASARKAN LATAR BELAKANG AGAMANYA dan berpegang pada larangan untuk menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai auliya---yang juga dimaknai pemimpin? Apakah cara itu mau dinyatakan INSKONTISUSIONAL, MELAWAN KONSTITUSI DAN BAHKAN DIKATAKAN INTOLERANCE? Tidak bukan? Saya tidak anti dengan TAFSIR apa pun, tetapi klo suatu penafsiran itu dilakukan justru menjauhkan umat dari hakikat perintah Alloh,, lebih baik saya tinggalkan tafsir itu. Dan ingat, saya selalu pegang prinsip KEMBALI KE AL QURAN DAN HADITS.. .KEMBALI KE HASIL MUKTAMAR NU 1999 dalam menyikapi memilih pemimpin non muslim. Apa artinya ini? Saya pun menghargai tafsir kyai-kyai NU melalui HASIL MUKTAMAR NU 1999.
Keempat. Mbak Siti Rofiah, saya harapkan lebih tawadhu dalam menyampaikan pendapat dengan cara menyebut dengan jelas siapa ORANG yang saudari maksud pakar hukum progresif yang saudari katakan INKONSISTEN dengan melihat status-statusnya di facebook ini. Klo yag sdr maksud itu SUTEKI, akan lebih fair bila saudari juga tanggapi di wall saya. Silahkan corat-coret di situ. Meski demikian, perbedaan pendapat ini hal yang wajar. Mungkin saya yang harus belajar banyak dari Mbak Siti agar lebih bisa mengerti apa itu HUKUM PROGRESIF. Terima kasih.
Kelima. Terkait dengan generasi Al Maidah 54. Saya sebagai bagian umat juga tidak tinggal diam dalam hal:
- Kasus semen Rembang: Saya sebagai salah satu pakar di bidang hukum dan masyarakat dari UNDIP yang memprotes beroperasinya kembali Pabrik Semen Rembang. Bisa dicek dalam pernyataan sikap komunitas penolakan pabrik semen Rembang.
- Terkait dengan korporasi busuk yang saudari sebut, saya juga menjadi ahli yang sudah diminta pendapatnya sebagai penolakan ekspor konsentrat tambang ke luar negeri. Saudari bisa cek kepada Saudara Ahmad Redi. Puluhan halaman sudah saya tanda tangani dan kirim sebagai bahan gugatan di pengadilan. Pasti nanti saya juga dipanggil sebagai ahli di PN Jakarta. Jadi saya minta, saudari tidak under estimate kepada orang lain, khususnya saya bila tidak mengerti betul apa yang sudah saya lakukan."
Mungkin teman-teman bosan melihat postingan-postingan saya yang dikatakan belum MOVE ON dari Al Maidah 51 dan seterusnya. Mengapa saya tidak bosan bicara tentang ini? KARENA SEMAKIN BANYAK JUGA YANG TIDAK "NGEH" dengan persoalan umat Islam ini. Banyak yang berpikir pragmatis dengan PRINSIP YANG PENTING TIDAK MERUGIKAN DIRINYA. Ini pemikiran yang sangat fatalistik menurut saya. Kita tidak peduli lagi dengan nasib AGAMA ke depan dan bagaimana nasib generasi kita di depan bila sekarang kita CUEK. Biarlah orang lain sudah khatamkan QURAN seribu kali, tapi saya usahakan misi kepemimpinan yang sesuai dengan tuntunan Quran dan hadist dapat terwujud kini dan di masa depan.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan baik dan ilmiah......