Negara Hukum V : Bertahan Atau Berubah
Negara Hukum V : BERTAHAN ATAU BERUBAH
(Cerita kehidupan Oleh AM. Ruslan)
Mereka bergerak cepat, tidak ada suara yang menguap percuma dari 150 anggota yang hadir,
“SIAAP. LAKSANAKAN!!!” Sang ketua tersenyum bangga. Tidak ada yang lebih setia melebihi mereka untuk membela bangsa dan Negara ini.
“Jangan biarkan mereka melakukan apapun, ingat itu!” pandangan dinginnya menembus setiap jiwa yang ada. Salah seorang dari belakang membisiki sesuatu, ketua mengangguk,
“Okay, kita berangkat. MERDEKA!!!”
“MERDEKA!!!” semua berjalan
Sepagi itu, awan sudah menepikan diri di sudut langit, ikut memberi jalan 150 Pembela Negara mengisi mobil operasi yang biasa mereka gunakan untuk kegiatan akhir tahun. Menjaga relasi Agama.
“Apa yang kamu lakukan jika ada orang atau kelompok tertentu mengusung sebuah gagasan yang menurut kelompok lain bertentangan dengan PANCASILA?”
“Maksud, Prof… Khilafah?”
“Ya! Anggap saja itu adalah salah satunya” Prof. Teki mengangguk
Hari ini, hari ketiga ujian masuk calon taruna AKPOL. Prof. Teki bersama 2 guru besar lainnya diminta menjadi penguji sebagaimana permintaan KAPOLDA yang terlampir dari surat keputusan yang beliau terima dua pekan yang lalu.
“menurut saya, umat islam Indonesia harus menerima system politik dan ketatanegaraan yang berdasarkan PANCASILA dan UUD 45. Sistem Negara PANCASILA yang berbasis pluralism, Bhineka Tunggal Ika sudah kompitibel dengan realitas keberagaman dari bangsa kita” calon Taruna itu menjelaskan.
“Aku mendapat kesan bahwa kau ingin menyatakan bahwa khilafah tidak cocok dengan sistem masyarakat sekarang yang berada dalam pola demokrasi modern sekarang ini, begitu?” Guru besar berkacata di samping kanan Prof. Teki menanggapi.
Ia mengangguk, “Para pendiri bangsa dulu telah menyatakan bahwa Negara kita adalah Negara pancasila yang tidak bertentangan dengan Syari… ah” ia menelan ludah, memperbaiki posisinya, sepertinya calon taruna itu agak kaku menyebut kata terakhirnya, “sehingga menurut saya bahwa keputusan founder father harus diterima sebagai kesepakatan luhur bangsa dan sebagai alat Negara… saya harus menjaga kesepakatan itu tetap utuh, tidak ada yang mengganggu. SIAPAPUN ITU!!!” dia menatap tajam di balik senyuman.
Cahaya pagi kian cerah bersama matahari beringsut naik sepenggalan. Waktu dhuha. Waktu yang begitu baik untuk pepohonan melakukan proses fotosintesis, waktu yang baik untuk mengubah pro vitamin D dalam tubuh manusia dan waktu yang penuh berkah yang dikabarkan oleh Allah swt dalam alquran untuk melakukan aktivitas. Dan itulah yang dilakukan oleh sekelompok jama’ah yang berkumpul sekarang memadati masjid yang terletak di pinggir jalan poros propinsi itu.
“Dakwah adalah bukti cinta kepada Allah swt, sebagaimana Cinta pada makhluk lainnya tentu membutuhkan sebuah pengorbanan… lihatlah! Bagaimana baginda Nabi saw tidak surut sedikitpun menghadapi ancaman dari kaumnya sendiri yaitu Quraisy…” Ustadz bersemangat dihadapan jama’ahnya. Kibaran bendera Putih dan hitam bertuliskan kalimat tauhid menambah gelora pada tiap jiwa para jama’ah yang hadir. Namun… tiba-tiba terdengar suara keributan dari luar.
“Bubaaarrrr!!!!” teriak sekelompok pemuda di depan masjid.
“Tidak boleh ada kegiatan yang merongrong Negara ini, BUBAARRR!!!” teriaknya lagi yang diikuti oleh semua anggotannya.
“ma’af, mas!” salah satu anggota jama’ah menghampiri kelompok pemuda di luar masjid
“Anda harus membubarkan acara ini atau kami akan membubarkan secara paksa” dia menunjuk rombongannya yang berteriak-teriak meminta acara taklim dibubarkan.
“Apa masalahnya, mas? Bisakah hal ini dibicarakan baik-baik?”
“Tidak!” pemuda itu tetap bersikukuh, “Tidak ada dialog dengan kelompok anti NKRI dan Anti Pancasila”
“Kami tidak pernah mengajarkan hal itu, kam…”
“BOHONG!!! Pemuda itu memotong “itu hanya alasan anda saja supaya mereka tertarik dengan kalian sehingga kemudian mereka mau bergabung dan meninggalkan organisasi yang menaungi mereka sejak dulu” Pemuda itu tetap bersikukuh untuk membubarkan acara.
“Anda mau membubarkan diri atau…” ia melirik kemudian melanjutkan dengan sebuah ancaman yang tidak mengenakkan, “kami sudah diberikan otoritas untuk membubarkan acara yang diadakan kelompok sampean” ia tersenyum sinis dihadapan lawan bicaranya.
Suasana lengang sejenak, suara AC merayap pelan di ruangan ujian calon taruna AKPOL. Ketiga penguji saling melempar pandangan, Guru besar di samping Prof. Teki mengambil microfon,
“Apakah ini juga berarti bahwa Anda menyatakan bahwa sistem pemerintahan khilafah tidak bisa bermetamorfose pada zaman sekarang?” Prof. Teki akhirnya merespon lebih dulu.
“Iya” jawabnya tanpa ragu
“Hmm.. anggap saja tidak ada pedoman baku dalam khilafah, namun tidak bisakah dari sekian kekhalifahan itu diambil modus vivendinya? Pertanyaan saya: Kalau sistem khilafah salah, tidak disukai oleh umat Islam sekali pun, beranikah kita menyatakan bahwa khilafah pada saat Nabi dan Khulafaur Rasyidin itu salah?”
“Ma’af, Prof…! itu bukan ranah saya”
“bukankah kau baru saja menyatakan itu tadi?” Guru besar lainnya ikut bersuara mengeroyok calon taruna yang masih memiliki banyak keberanian dihadapannya.
“iya.. memang benar! Tetapi saya mengungkapkan hal itu karena KAMI adalah penjaga Kesepakatan leluhur. Dan…”
“Tunggu…!!!” Prof. Teki memotong, “kamu bilang kalau tugas kalian adalah menjaga kesepakatan itu supaya tetap berjalan?”
“Iya!”
“bagaimana jika kesepakatan itu berubah? Dalam artian ada kesepakatan baru yang disepakati oleh generasi baru bersama masyarakat… hm… anggap saja KHILAFAH diterima dan itu yang disepakati, bagaimana menurutmu? Masihkah kau bersikukuh menjaga kesepakatan yang lama?”
Calon taruna yang cantik itu terlihat bingung.
Pancasila sebagai Pandangan Hidup, Ideologi Bangsa maupun sebagai dasar Negara. Namun persoalan praktik tiap-tiap rezim mewujudkan Pancasila ini yang selalu berbeda dan tidak ada standart yang bisa dipegang. Seolah Negara tidak punya GRAND DESIGN padahal PANCASILA itulah Grand design kita. Kita hidup dalam berbagai bidang seolah lepas kontrol, berlayar tanpa kompas tanpa pulau tujuan. Mengerikan.
“Maka, dalam keadaan inilah hadir ideology-ideologi lain baik komunisme, fasisme, hingga ideologi islam menawarkan konsep-konsepnya untuk mengatasi semakin melencengnya jarum pendulum negeri ke arah pencapaian tujuan bangsa sebagaimana alineia 4 UUD NRI 1945. DUNIA INI PANTAREIH..begitu kata Heraclitos..mengalir berubah tiada henti.. BILA KITA BERSEPAKAT UNTUK BERUBAH LALU APA YG MESTI BERSIKUKUH UNTUK TETAP KECUALI KEHENDAK ALLOH”
Semua tepuk tangan…
Prof. Teki menutup seminar Hukumnya dengan kalimat yang mengesankan audiens yang hadir memenuhi aula utama kampus 3 tahun lalu. Dan sekarang mungkin kalimat yang pernah beliau sampai itu akan beliau ulang lagi dihadapan calon taruna hari ini.
“Saudariku…! Aku maklum dengan sikapmu itu yang berusaha mempertahankan kesepakatan leluhur kita. Namun, kita tidak boleh STAGNAN, Menganggap semuanya serba final, finite and finish. Kita ini sedang dalam proses menjadi negara bangsa yang masih mencari identitas diri itu” kali ini beliau menatap tajam
“Kalau kita konsisten dengan Pancasila, mestinya kita benar-benar menempatkannya Pancasila itu sebagai SILA. SILA harus dimaknai sebagai PRECEPT, yakni AJARAN MORAL yang memiliki sifat IMPERATIVE CATHEGORIES---perintah yang tidak dapat ditawar-tawar. Perintah ini berbeda dengan imperatif hipotetis, yakni perintah bersyarat yang dapat ditawar. Berketuhanan yang maha esa misalnya, ini adalah perintah yang tidak ditawar. Yang berarti bahwa setiap insan Indonesia HARUS BERTUHAN tidak ada tempat sejengkal pun di bumi Indonesia untuk ATHEIS (ME) dan POLITEIS (ME). Pertanyaannya: adakah di antara kita yg ateis dan politeis? kalau ada, bolehkah mereka tetap tinggal di Indinesia? Adakah komunisme itu sekaligus meyakini tuhan yang esa? Sukakah komunisme itu dengan agama? Lalu adakah dan tetap terjaminkan komunis di Indonesia? Jawab itu wahai PENJAGA KESEPAKATAN?” mata dingin Prof. Teki membuat calon taruna itu tidak berkutik. Kepercayaan dirinya kini rontok.
“Di sini saja kita tidak konsisten, bukan?” Prof. Teki senyum, mungkin beliau sudah berhasil mengalahkan argument PENJAGA KESEPAKATAN itu. Mungkin.
Cahaya dhuha kian menghilang berganti sinar yang menyengat. butiran Keringat dingin terlihat mengucur begitu saja. mungkin, ruangan ber-AC tidak lagi adem.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan baik dan ilmiah......